Kecap Cap Laron yang jadi salah satu ikon kebanggaan kota Tuban, akan dijual
oleh pemiliknya Handoyo Hadisoetanto. Pabrik kecap yang sudah berumur 65 tahun
ini tidak ada penerusnya, dan generasi ke tiga kerajaan kecap ini tidak ada
yang berminat dengan usaha ini. Mengapa?
“Ini saya jual setelah saya tidak kuat lagi mengingat usia
saya sudah 67 tahun,” kata Handoyo yang pernah terserang stroke beberapa tahun
lalu dan kini masih berobat jalan di Singapura.
Kenapa pabrik kecap kebanggaan kota Tuban ini harus dijual? Menurut Handoyo,
karena sudah tidak ada lagi penerusnya. Tiga anak dari istri pertamanya tidak
ada yang berbakat sementara 2 anak dari istri keduanya juga kurang berminat.
Memang beberapa group pernah akan membeli pabrik dan merek
dagangnya, namun dia masih ingin pabriknya ini eksis. “Tapi kalau ada yang
cocok misalnya dengan jumlah yang besar sebesar namanya, lain lagi urusannya, “
kata Handoyo sambil tersenyum.
Pabrik kecap Cap Laron ini memang dirintis papanya Yuwono
Hadisoesanto tahun 1945 di kampung Kawatan Tuban. Ketika itu usianya baru dua
tahun. Dipilihnya nama Laron karena filosofinya selain Tawon, Laron hidupnya
berkelompok-kelompok, saling bantu dan rukun tidak pernah tarung.
Papanya, Yuwono selama 17 tahun menjalankan usahanya. Kecap
Cap Laron terkenal karena rasanya yang gurih dan manisnya pas. Namun ketika ia
lulus SMA dan Handoyo sukses membangun pabrik kue semprit Cap Manalagi di
Surabaya, tiba-tiba ia dipanggil ke Tuban.
Singkat cerita, dalam rapat keluarga ia ditunjuk untuk
menyelamatkan pabrik kecap Cap Laron pada tahun 1972, terlilit utang dalam
jumlah yang besar. Semula Handoyo menolak karena ia punya bisnis yang cukup
maju dengan karyawan 35 orang. Kedua, di antara 5 saudara-saudaranya pasti akan
iri karena bagaimanapun usaha ini kebanggaan keluarga dan telah berjasa
membesarkan anak-anak papanya.
Namun sebagai putra sulung, akhirnya ia mau berkorban dengan
meninggalkan pabrik kuenya yang mulai sukses di Surabaya. Ia mau berkorban
untuk mengembalikan kejayaan bisnis keluarga ini. Dan untuk menutup utang, ia
harus mencari uang tunai dengan cara menjual asetnya di Surabaya.
Ternyata saking besarnya utang tadi, jual asset dan kekayaan
lainnya belum cukup untuk menjalankan pabrik kecap ini. Sementara pinjam bank
ketika itu sulitnya setengah mati, apalagi tahu pabrik kecap Cap Laron utangnya
banyak.
Maka Handoyo muda (baru 20 tahun) nekad cari tauke penjual
bahan baku yang mau dibayar di belakang. Lewat tangan Allah, Handoyo
dipertemukan dengan juragan gula Jawa di Purwokerto. Gula Jawa atau gula kelapa
adalah bahan baku utama kecap selain kedelai.
Dengan modal bayar belakang tadi pabrik kecap mulai lancar
produksinya. Setelah bahan baku mencukupi, timbul lagi masalah lain, yakni
bahan bakar kayu yang makin sulit dicari dan mahal.
Sebagai pemuda yang dibesarkan di Surabaya
(Handoyo SMA-nya di St Louis Surabaya )
ia mencari tahu tentang teknologi masak memasak dalam jumlah yang besar. Secara
tidak sengaja ia masuk Pasar Turi Surabaya dan melihat ada kompor raksasa.
Secepat kilat pikirannya menangkap ide menggantikan tungku kayu bakar dengan
kompor minyak tanah.
Ketika itu minyak tanah adalah bahan bakar paling murah.
Dengan cara ini, proses memasak bahan baku
kecap (kedelai dan gula merah dicampur ramuan bumbu) bisa lebih cepat dan
menghemat biaya. Pada puncak kejayaannya, tahun 1980-an sampai 1990-an (zaman
Soeharto), produksi kecap Cap Laron pernah mencapai 2 ton per hari. Merek Cap
Laron melejit dan terkenal se antero Indonesia .
BUAH KERJA KERAS. H. Hadisoetanto sempat mengalami jatuh
bangun selama mengelola pabrik kecap Cap Laron, sebelum akhirnya mencapai
sukses seperti sekarang
Mengapa kecap Cap Laron maju pesat meski harganya paling
mahal di antara kecap lain? Menurut Handoyo, rahasianya terletak pada ramuan
bumbu tradisionalnya.
“Saya berani bersaing rasa dengan kecap merek apapun,
termasuk yang diproduksi oleh pabrik-pabrik raksasa lainnya. Mereka maunya
menyaingi kami dengan menjatuhkan harga. Tapi yang namanya rasa kan nomor satu,” ungkap
Handoyo bangga.
Dan memang benar. Ternyata harga satu botol kecap Cap Laron
adalah Rp 15 ribu. Ini merupakan harga kecap paling mahal di deretan
supermarket di Tuban. Dan anehnya, kecap Cap Laron tidak dijual kemana-mana,
hanya di Tuban saja.
Tetapi mengapa bisa masuk pasar Jakarta ,
Jabar, Jateng, Kalimantan sampai ke Maluku dan
Papua? Ternyata distributor Tuban yang mengedarkannya. Cuma harganya jadi
selangit karena pedagang ambil untung sampai 25 persen.
Saking terkenalnya, kecap Cap Laron telah menjadi salah satu
ikon kota
Tuban, selain Tuwak atau Legen Tuban. Bukan hanya dipakai oleh rumah tangga,
tetapi hotel dan restoran besar pun memakai kecap ramuan tradisional dengan
gula pilihan dari Solo atau Purwokerto ini.
Mengapa Handoyo tidak memakai gula pohon lontar atau gula
dari legen yang popular disebut gula aren? Menurut dia karena terlalu manis.
Juga gula dari tebu tidak dipakai karena kecap mengkristal atau gula dari
Kediri/Tulungagung yang sering tercampur bahan lainnya.
Ketika masa jaya tahun 90-an, kecap Cap Laron pernah diterpa
isyu tidak halal karena gurihnya. Isyu ini sempat membuat produksi menurun,
kendati sudah diperiksa Badan POM Surabaya
dan dinyatakan halal serta bersertifikasi halal dari MUI. Dan yang juga
penting, kecap Cap Laron tidak memakai bahan penyedap rasa seperti micin atau
sejenisnya.
Untuk mensiasati isyu tersebut, akhirnya pada label ditulis
: Diproduksi H.Hadisutanto dengan CV Laron Putra Manunggal. “Huruf H-nya bukan
Haji, tapi Handoyo Hadisutanto,” katanya tertawa.
Namun di balik sukses itu, Handoyo mengalami kesedihan yang
mendalam. Istrinya kabur ke luar negeri, anak-anaknya merongrong bisnis
keluarga ini dan tidak satupun yang bisa dan mau mewarisi usaha kecap Cap
Laron.
Di antara sukses dan pecahnya keluarganya ini, ia sempat
terkena stroke dan harus dirawat dalam waktu yang lama. Untung ada adiknya
Endang Kitiawati yang selalu membantunya.
AKHIRNYA. Disisa hidupnya, H. Hadisoetanto mendambakan
ketenangan hidup. Karenanya, ia berencana menjual pabrik kecap kebanggan kota Tuban itu. Saat ia
tak lagi sanggup mengelolanya
“Karena itulah, dari pada nanti usaha ini jadi rebutan,
lebih baik saya jual saja. Nanti dibagi sesuai hak warisnya. Namun harus
diingat oleh anak-anak dan keponakan saya, ketika pabrik kecap ini diwariskan
ke saya kondisinya dalam keadaan minus,” kata Handoyo sambil mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Namun ia mengingatkan sekali lagi, pabriknya ini baru akan
dijual setelah ia tidak kuat mengelolanya.
Kapan? “Ya sebentar lagi, lha wong saya ini ingin istirahat
dengan tenang di usia saya yang sudah senja ini,” katanya tenang, seperti Laron
yang ingin berkumpul dengan keluarganya sampai akhir hayatnya
0 komentar:
Posting Komentar